WAJAH BURAM POLITIK GOLKAR DI LOITEGLAS
Oleh: Faizal Ikbal
Mahasiswa Pascasarjana jurusan Komunikasi politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
HUBUNGAN kader partai Golkar Halmahera Tengah pun kerap memanas, bahkan mencapai titik didih, bagaimana tidak. Media massa dan media sosial memperlihatkan saut-menyaut argumen atau tawuran opini tentang perebutan kursi ketua dewan yang sampai saat ini masih dipolemikkan dalam internal DPD II Golkar Halmahera Tengah.
Efek ketegangan ini, memicu saling pecat. Sakir Hi Ahmad, Ketua DPD II Golkar mendepak Fahris Abdullah dari Sekertaris partai. Kebijakan ketua, Sakir Hi Ahmad mendapat opponent (lawan) dari Edi Langkara (ketua dewan pertimbangan DPD Partai Golkar dan juga bupati Halmahera Tengah) yang membeberkan sikap sakir melengserkan Fahris Abdullah dari jabatan Sekertaris partai Golkar dan sejumlah kader partai golkar lainya batal demi hukum.(Baca: Poskomalut.com. edisi: 11/11, 2019).
Sehari sesudah terpublisnya berita diatas, Arifin Djafar mengklarifikasi bahwa pemecatan Fahris Abdulah adalah hak perogratif DPD II Halteng dan juga meminta Fahris Abdullah harus berhati besar alias legowo menerima Pemecatan. (Baca: Poskomalut.com. edisi:12/11,2019).
Membaca konflik internal partai Golkar DPD II Halteng sesunguhnya tidak harus selalu negatif dan merusak. Dalam perspektif teori konflik, sosiolog konflik Amerika, Lewis Coser memandang konflik tidak selalu merusak sistem sosial.
Konflik dan integrasi sebagai dua sisi yang bisa memperkuat dan memperlemah satu sama lainya. Coser sendiri memilah dua tipe dasar konflik, yang realistik dan non realistik (dalam: Gun Gun Heriyanto, Pangung komunikasi politik. Hal:168).
Penulis akan hanya menguraikan konflik yang realistik karena konflik nonrealistik tidak konteks dengan fenomena perebutan kursi ketua dewan halmahera tengah, karena memang konflik nonrealistik sifatntya ideologis, dalam hal ini antara lain konflik agama, etnis, suku, ras dan golongan banyak di temukan saat proses kandidasi yang melegitimasi isu seperti saling fitna, Hoax, Hate speech, dan fake news, yang endeavor mendelegitimasi kompetitornya.
Yang namanya konflik realistik itu memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat materi misalnya sengketa sumber kekuasaan antaralain di kontestasi Politik Loiteglas dimana para kader-kader Golkar (Sakir & Fahris) saling berebut kursi ketua Dewan perwakilan Rakyat Daerah Halmahera Tengah, tentu akan berimbas pada pengelolaan kuasa sesuai skema yang di milikinya.
Jadi, ketika kursi Dewan dinyatakan Defenitif ke salah satu kader maka akan mereda juga konfliknya dan bisa teratasi dengan politik saling merakul untuk membaikkan hubungan personal kader partai Golkar DPD II Halmahera Tengah.
Kita tahu dalam politik selalu ada drama baru dalam episode-episodenya akan tetapi dalam konflik DPD II Golkar Halteng akan mengariskan peristiwa politiknya tersendiri, apalagi banyak Konstituen politik yang sudah mulai menunjukkan kemarahanya, dari jajak pendapat media sosial dan lainya, banyak klien golkar merisaukan polemik internal yang tidak kunjung henti.
Psikologi publik terbawa ketika sudah dilantiknya wakil ketua I dari partai PDI-P Dan Wakil Ketua II dari partai Nasdem, sementara golkar yang punya hak kuasa kursi ketua dewan belum didefenitifkan malah masih ada riak-riuk politik, ini membuat Golkar makin dipertanyakan filosofinya sebagai pohon beringin yang selalu mengayomi dan melindungi masyarakat.
Kosongnya kursi ketua dewan makin membuat sinergitas kerja antara legislatif dan eksekutif makin paradoks untuk menunaikan janji-janji politik (legislatif maupun eksekutif), serta tidak akan kuat menghadapi proyeksi kebijakan politik provinsi yang makin kuat mengencarkan investasi-investasi yang tidak mengkonfirmasi dan berkordinasi baik dengan pemerintah daerah.
Respon Fakta-fakta politik propinsi, harus menjadi kesadaran massal kader Golkar untuk menyudahi orientasi insentif (kedudukan), dan kembali membela hak-hak warga yang dibabat habis, sebab kita tahu Golkar identik dengan Slogan ‘’suara rakyat adalah suara golkar’’.
Fase krusial golkar membikin wajah politiknya, tiba pada teori Komunikasi Disonansi Kognitif yang dipopulerkan oleh Leon Festinger (1957), berasumsi bahwa perasaan ketidaknyamanan seseorang yang di akibatkan oleh sikap, perilaku, dan pemikiran yang tidak konsisten memotivasi orang untuk memilih langkah lain untuk menggurangi ketidakpastian itu.
Biasanya yang menyebabkan disonansi adalah inkonsistensi logis, yaitu logika berpikir yang tidak mengindahkan logika berfikir lain. Ilustrasinya, Pemilih meyakini Partai Golkar merupakan partai yang akan menentukan perbaikan dan Perubahan di Halmahera Tengah, akan tetapi di saat yang bersamaan muncul ketidakpercayaan pada program, janji kampanye, dan rekam jejak aktor politik Golkar untuk membawa harapan serta aspirasi rakyat. Maka, akan muncul inkonsistensi logis.
Inilah, yang akan membuat pemilih mencari cara untuk mengurangi ketidakpastian dan menghadirkan konsonansi. Ribut berebut kursi ketua dewan di internal DPD II Golkar Halteng di interpretasikan sebagai inkonsistensi, dengan sendirinya membuat klin Golkar menghadapi intonasi sosial (cibiran dari klin partai politik lain) dan pasti akan meninggalkan loyalnya di partai Golkar. Selain itu, Bisa jadi elektabilitas Golkar Down dan memberikan sinyal kuat pemilih memobilisisi dirinya dengan partai lain pada momentu-momentum politik selanjutnya. (Jl)