TERNATE,Beritamalut.co-Sejumlah seniman jalanan dan juga aktifis pemerhati lingkungan serta berbagai pelaku individual penggerak kemanusiaan yang diakomodir komunitas Slavery menggelar panggung protes di taman Nukila Kota Ternate, Sabtu (24/3/2018) malam.
Pentas ini sebagai wujud aksi protes warga Desa Wailoba, Kecamatan Mangole Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula terhadap CV. Samalita Perdana Mitra.
Kehadiran CV Samalita dianggap oleh warga merupakan sebuah pembohongan kepada masyarakat setempat.
CV itu hadir di Dusun Bantala Desa Wailoba pada April 2016 lalu dengan sejumlah alat berat, alasannya sebagai tempat penitipan barang. Namun belakangan ternyata melakukan aktifitas diluar dari itu.
Koordinator kegiatan Safir Buamona mengatakan, perusahaan malah melakukan praktek pembukaan lahan secara diam-diam mulai dari membuka jalan baru hingga penebangan kayu secara llegal.
“Kita menganggap CV. Samalita Perdana Mitra telah melakukan perampasan lahan warga serta memberikan harapan palsu terhadap warga setempat, karena didalam izin itu perusahaan harus bekerja di luar areal hutan rakyat bukan diatas lahan warga. Dan perusahaan diharus menyediakan tanaman pala dan cacao karena IPK itu merupakan izin usaha perkebunan pala dan cacao bukan izin pemanfaatan kayu,” katanya.
Dikatakan, panggung ini merupakan ajang untuk bagaimana dapat menyuarakan apa yang menjadi komitmen bagi warga dan teman-teman yang menganggap isu kerusakan lingkungan, kemanusiaan dan sosial itu merupakan tanggung bersama.
“Saat ini banyak cara untuk menyalurkan pendapat ataupun kritikan. Kita lebih memilih membuat panggung festival, selain dapat menyalurkan kritikan, juga dapat meneriakan keresahan terhadap ketidak adilan,” ungkapnya.
Terkait CV itu, bahwa pada tanggal 23 Mei 2016 Bupati Kabupaten Kepulauan Sula Hendrata Thes mengeluarkan Surat Keputusan nomor 84/KPTS tentang Izin Usaha Perkebunan 05/Ks/2016 BudidayaTanaman pala dan cacao (IUP-BPC) pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara nomor 522.1/KPTs/79/2016 sebagai persetujuan bagan kerja Izin Pemanfaatan Kayu Areal Penggunaan Lain (PK-APL) untuk usaha perkebunan budidaya tanaman pala tertanggal 23 juni 2016 dan keputusan nomor 522.1/455/2016 yang diperpanjang dengan nomor 522.1/KPTS/84/2017 tertanggal 29 Desember 2017 dengan luas areal 1000 Ha.
“Didalam IPK-APL tersebut merupakan izin Usaha Perkebunan Budidaya Tanaman Pala dan Cacao (IUP-BPC) bukan semata-mata lzin Pemanfataan Kayu (IPK) yang digunakan demi kepentingan perusahaan. Terdapat tiga lokasi pengelolaan, dua diantaranya sudah habis dibabat (dikelola) yang berada di Dusun Bantala dan Kilometer 4 yang sampai saat ini perusahaan tidak menyediakan persamaian bibit pala dan cacao kepada warga setempat sebagaimana perintah dalam IPK tersebut,” ujarnya.
Selain itu lanjut Safir, aktifitas CV itu saat ini bercokol di Dusun Wai Fatau, padahal dusun itu merupakan tempat sumber penghidupan berupa tanaman tahunan dari seratus (100) Kepala Keluarga lebih yang berada di Desa Wailoba, dan bahkan lokasi ini termasuk dalam zona kerentanan kerawanan banjir.
“Urusan dampak adalah urusan warga, sementara urusan kekayaan adalah urusan perusahaan. Yang anehnya dilokasi ini warga selalu di iming-imingi dengan uang, kata kesejahteraan dan kemakmuran menjadi alat pembohongan dan pembodohan sementara pihak Aparatur Negara, Pemda dan Pemprov dijadikan lembaga untuk menakuti warga oleh pihak perusahaan,” sesalnya.
“Jadi dalam panggung protes ini kita buat untuk mempublikasikan kejahatan dan kebohongan CV. Samalita Perdana mitra agar masyarakat Maluku Utara mengetahui hal itu, kita juga mendesak Pemda Sula dan Pemprov agar secepatnya cabut izin perkebunan pala dan cacao yang dikeluarkan dan perusahaan harus melakukan ganti rugi lahan warga yang dikelola” harapnya.(Hsd)