Australia – Di awal-awal pandemi COVID-19, pasar saham mengalami penurunan sehingga kekayaan para miliarder dunia turun drastis. Namun hal itu tak berlangsung lama. Dalam sembilan bulan, para miliarder mampu mengembalikan kekayaan mereka.
Dilansir dari ABC News, Selasa (26/1/2021), berbeda dari para miliarder yang mampu mengembalikan kekayaannya, masyarakat di bawah garis kemiskinan perlu lebih dari satu dekade untuk memulihkan ekonomi mereka akibat dampak pandemi.
Dalam laporan terbaru Oxfam, The Inequality Virus, disebutkan bahwa pandemi telah memperburuk ketimpangan dan memperdalam kemiskinan di seluruh dunia.
Pandemi telah menyebabkan krisis pekerjaan terburuk dalam lebih dari 90 tahun, dengan ratusan juta orang sekarang menganggur atau kehilangan pekerjaan.
Oxfam menyebut bahwa 10 orang terkaya di dunia telah melihat kekayaan mereka meningkat setengah triliun dolar sejak pandemi dimulai – lebih dari cukup untuk membayar vaksin COVID-19 untuk semua orang di dunia dan untuk memastikan tidak ada yang berada dalam kemiskinan akibat pandemi.
Dalam konteks Australia, 31 miliarder mengalami peningkatan kekayaan hampir US$ 85 miliar (Rp 1,2 triliun) sejak pandemi diumumkan terjadi.
Kekayaan Miliarder Dunia Meningkat
Setelah krisis keuangan global pada tahun 2008, butuh waktu lima tahun bagi miliarder untuk kembali ke titik tertinggi sebelum krisis.
Tapi kali ini, dengan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dari pemerintahan global, pasar saham meledak, meningkatkan kekayaan miliarder, bahkan ketika ekonomi riil menghadapi resesi terdalam dalam satu abad.
Di seluruh dunia, kekayaan para miliarder meningkat sebesar US$ 3,9 triliun antara 18 Maret hingga 31 Desember 2020.
Total kekayaan mereka sekarang mencapai US$ 11,95 triliun, yang menurut Oxfam setara dengan yang dihabiskan pemerintah G20 untuk menghadapi pandemi.
501 juta Orang Hidup dengan Kurang dari US$ 5,50 sehari (Rp 70.000)
Ketidaksetaraan membuat miliaran orang hidup dalam bahaya ketika pandemi melanda.
“Mereka tidak memiliki sumber daya atau dukungan untuk menghadapi badai ekonomi dan sosial,” kata laporan Oxfam.
Badan-badan internasional termasuk Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga khawatir pandemi tersebut akan semakin memperburuk ketimpangan.
Menurut Bank Dunia, 501 juta orang lebih akan hidup dengan kurang dari US$ 5,50 sehari (Rp 70.000) pada tahun 2030, jika pemerintah membiarkan ketidaksetaraan meningkat. Jumlah total orang yang hidup dalam kemiskinan akan lebih tinggi dari sebelum virus Corona menyerang.
Tetapi jika pemerintah memilih untuk bertindak mengurangi ketidaksetaraan sebesar dua poin persentase setiap tahun, diperkirakan dunia dapat kembali ke tingkat kemiskinan seperti sebelum krisis dalam tiga tahun, dan 860 juta orang mungkin tidak akan hidup dalam kemiskinan pada tahun 2030 dibandingkan jika dibiarkan meningkat.
Di Australia, subsidi upah akibat COVID-19 telah membantu warga Australia. Namun Oxfam khawatir akan banyak orang yang jatuh miskin jika subsidi berakhir.
“Kami menyaksikan peningkatan ketimpangan terbesar sejak pencatatan dimulai,” kata kepala eksekutif Oxfam Australia, Lyn Morgain Oxfam.
“Kesenjangan kian tinggi antara yang kaya dan yang miskin terbukti sama mematikannya dengan virus,” imbuh Morgain.
“Meskipun pemerintah harus diberi selamat karena bertindak cepat untuk menerapkan subsidi upah dan langkah-langkah perlindungan sosial lainnya tahun lalu, pengembalian dana yang tidak tepat dan tidak adil bisa menjadi pukulan bagi warga termiskin Australia,” katanya.
Morgain pun meminta Pemerintah Federal Australia untuk berinvestasi lebih lanjut dalam layanan publik dan sektor rendah karbon. Dia mengatakan hal ini dapat membantu menciptakan jutaan pekerjaan baru. (detikcom)