Jakarta – Jauh sebelum kelahiran RA Kartini sebagai pahlawan revolusi wanita, Indonesia juga memiliki pejuang yang tak kalah tangguh, Bunda. Ia adalah Martha Christina Tiahahu.
Gadis kelahiran 4 Januari 1800 di Desa Abubu, Nusa Tenggara Laut, Maluku itu, merupakan anak tunggal. Ia adalah anak dan permata satu-satunya Kapitan Paulus Tiahahu dan sang istri.
Sayangnya, kebahagiaan Kapitan Paulus Tiahahu itu tak berlangsung lama. Itu karena istrinya meninggal dunia saat anaknya masih berusia balita.
Akibatnya, Kapitan Paulus harus mengurus anaknya seorang diri. Martha lantas menjadi amat dekat pada sang ayah, yang merupakan seorang pejuang melawan penjajah Hindia Belanda bersama Thomas Matulessy Pattimura atau Kapitan Pattimura.
Mengutip dari buku MARTHA CHRISINA TIAHAHU: Mutiara dari Nusa Laut yang Cinta Tanah Air karya Indah Ratna, diceritakan bahwa selama hidupnya, Martha tak terpisahkan dari sang ayah. Hal ini membuatnya menjadi sosok pemberani dan memiliki pendirian teguh.
Bahkan, Martha kerap diikutsertakan dalam rapat pejuang untuk melawan penjajah Belanda, Bunda. Dengan kebiasaan tersebut, Martha lama-kelamaan menjadi paham bahwa keadaan tanah kelahirannya dalam kondisi tak baik. Desanya diinjak-injak penjajah dan tak sedikit pahlawan dari sana gugur demi mempertahankan negeri.
Dengan perasaan sedih dalam hati atas kondisi tersebut, keberaniannya terus tumbuh dan kuat. Ia pun bertekad untuk menjadi pejuang seperti sang ayah sejak berusia muda.
Saat tumbuh menjadi seorang remaja, Martha memiliki pesona dengan rambut hitam ikalnya yang digerai panjang, Bunda. Ia memiliki senyum yang manis, gigi putih nan rapi, serta bergerak dengan begitu lincah.
Kala itu banyak remaja seusianya yang merasa kagum pada Martha. Meski begitu, ia tak memedulikannya dan hanya berfokus pada perjuangan demi desa dan tanah kelahiran.
Tak sedikit pula bahwa saat itu, teman-teman Martha sudah menikah dan memiliki anak. Namun ia sangat berbeda karena memilih untuk sibuk dalam berbagai pertempuran.
Perjuangan yang Martha lakukan pun turut didukung oleh ayahanda. Ayahnya tak pernah melarang putri semata wayangnya itu untuk terus bergerilya, bahkan ia ditugaskan sebagai pembawa senjata saat berperang.
Ayah dan anak ini menjadi kompak dan sebagai pendukung bagi satu sama lain selama di medan perang. Martha selalu mendampingi sang ayah di mana pun perang berlangsung dan tak jarang ia turut angkat senjata saat perjuangan tersebut tengah berlangsung.
Martha pun tak lupa memberi semangat bagi wanita di Ouw dan Ulath. Ia berharap agar kaum wanita di sana ikut membantu pria dalam peperangan.
Keikutsertaan wanita dalam perang saat itu sempat membuat Belanda kewalahan. Mereka juga merasa khawatir karena baru di tanah Maluku lah, pejuang wanitanya memiliki semangat juang yang tinggi. Bahkan Martha sendiri menjadi sosok yang disegani oleh penjajah Belanda sebagai lawannya kala itu.
Simak perjuangan Martha Christina Tiahahu selanjutnya di halaman berikut ya, Bunda.
Ajari juga Si Kecil mengenal nama Presiden Indonesia sejak dahulu hingga sekarang dalam video berikut:
Selama perjuangan melawan penjajah, hidup serba susah dan berada dalam hutan yang jauh dari perkampungan penduduk menjadi hal lumrah bagi Martha Christian Tiahahu. Termasuk saat ia ikut dalam perundingan di tengah hutan belantara bersama sang ayah sebagai komando perang.
Perundingan para pahlawan pada 14 Mei 1817 itu berisi strategi untuk melumpuhkan kekuasaan Belanda. Saat itu Martha yang baru menginjak usia 17 tahun ikut mengambil sumpah.
Dari hasil perundingan tersebut, diputuskan bahwa Martha menjadi salah satu pemimpin pasukan bersama sang ayah dan yang lainnya. Semua pasukan yang terlibat kala itu berada di bawah komando Kapitan Pattimura.
Serangan yang mereka lakukan dimulai menjelang fajar di Benteng Beverwihj. Saat semua prajurit terlelap, Martha bersama ayahnya menyusup masuk.
Saat mereka memulai aksi, Kapitan Paulus berhasil menaklukkan penjaga benteng depan. Namun secara tiba-tiba, ada seorang prajurit Belanda yang muncul dan langsung mengarahkan senjata padanya.
Untungnya kehadiran prajurit tersebut dengan cepat Martha sadari. Ia merebut senjata tersebut, namun ia justru mendapat pukulan dari prajurit di bagian pelipis dan membuat Martha tersungkur ke tanah.
Mendapati anaknya yang diserang dan terancam, Kapitan Paulus Tiahahu pun secara sigap berusaha untuk menyelamatkannya. Ia kemudian kembali merebut senapan musuh dan menyerangnya hingga kehilangan nyawa saat itu juga.
Setelah itu, Kapitan Paulus dan Martha berhasil masuk ke benteng lebih dalam bersama pejuang lain. Serangan mereka membuat musuh kewalahan dan takluk pada pejuang Maluku.
Martha dan ayahnya tercatat dalam sejarah yang ikut berperang bersama Kapitan Pattimura kala itu. Mereka berhasil mengalahkan Belanda dan membakar Benteng Duurstede.
Usai serangan tersebut, Martha bersama pejuang lain terus melakukan gerilya. Ada kalanya pasukan pejuang merasa terdesak, di antaranya karena persediaan senjata yang mengurang. Hal tersebut lantas membuat pejuang harus rela mundur ke Pegunungan Ulath-Ouw.
Dalam perang itu, Richemont gugur karena tertembak. Dengan keunggulan tersebut, pasukan pejuang rakyat lantas menyerang dari segala penjuru dengan teriakan yang menggema di udara.Lalu pada 11 Oktober di tahun yang sama, kembali ada peperangan yang dilakukan Belanda dengan kekuatan dari 100 orang prajurit dan dipimpin oleh Richemont.
Martha tentunya turut andil dalam peperangan tersebut. Ia menyemangati para pejuang wanita di Ulath dan Ouw secara langsung.
“Tanah ini adalah tempat kita dilahirkan. Jangan biarkan penjajah merebutnya,” teriak Martha dengan semangat dalam perang tersebut.
“Kita dilahirkan di sini, kita pun harus rela mati di bumi ini. Lebih baik mati dalam perjuangan daripada menjadi budak mereka!” sambungnya.
Sayangnya, peperangan tersebut berakhir kekalahan di pihak pejuang rakyat, Bunda. Pada 14 November 1817, Kapitan Paulus Tiahahu, Martha Christian, Raja Hehanussa dari Negeri Titawai, Raja Utah, dan Patih Ouw ditangkap dan dibawa ke kapal perang Eversten.
Martha tetap tegar dalam penangkapan tersebut. Ia tak sedikit pun merasa gentar dan bertekad untuk terus mendampingi ayahnya.
Kemudian pada 15 November 1817 pukul 09.00 pagi, dilakukan inspeksi pasukan di darat. Komisaris Jenderal Adriaan Buyskes naik ke kapal Evertsen dan memeriksa tahanan yang diajukan dalam sidang hari itu.
Dalam sidang yang berlangsung, ditetapkan lah bahwa Martha dibebaskan dari segala tuntutan dan hukuman karena masih berusia muda. Sementara itu, ayahnya justru mendapat hukuman yang berat karena masuk dalam catatan Belanda sebagai pejuang berbahaya.
Martha sontak tertegun. Ia merasa tak tega pada ayahnya yang kian menua dan menilai bahwa sosok sang ayah amat penting dalam peperangan melawan penjajahan Belanda. Ia pun menatap Belanda dengan rasa sedih dan berpikir bahwa ia lebih baik mati dari pada sang ayah.
“Bebaskan ayah ku! Dia sudah tua dan tidak berdaya. Biarkan aku yang dihukum!” katanya dengan tegas pada Adriaan Buyskes.
Permohonan Martha Christina Tiahahu untuk kebebasan sang ayah tak diindahkan, Bunda. Usahanya sia-sia, karena pada 16 November 1817, ia dan sang ayah dibawa ke Nusa Laut menggunakan sekoci dan keduanya ditahan di Benteng Beverwijk.
Di sana mereka menunggu hukuman apa yang akan dijatuhkan pada Kapitan Paulus dan Martha tetap mendampingi ayahnya saat itu. Hingga pada keesokan harinya, hukuman ayahnya pun dijatuhkan. Disaksikan oleh seluruh mata, Kapitan Paulus Tiahuha gugur di hadapan rakyat Maluku dan prajurit Belanda di sana.
Setelah itu, barulah Martha Christina dibebaskan. Saat itu ia tak menangis sedikit pun. Martha hanya menunjukkan wajah dingin dan berjalan dengan langkah tegap menuju jasad kaku ayahnya, tubuh panglima perang yang terbujur di tanah.
Rasa duka mendalam kembali menyelimuti Martha. Ia menjadi yatim piatu dan diputuskan untuk diserahkan pada Guru Kepala Sekolah Soselissa yang pernah menjadi pengkhianat negeri. Ini karena Martha masih muda dan perlu pengawasan.
Namun itu tak berlangsung lama. Ia memiliki janji untuk terus berjuang mencapai kemerdekaan pada mendiang ayahnya. Ia pun kembali mengangkat tombak untuk bergerilya ke hutan.
Dia mengendalikan perjuangan gerilya dari sana, Bunda. Namun tembok kesedihan dalam hatinya justru membuat dirinya kehilangan akal. Hal ini pun mengakibatkan kesehatannya terganggu.
Dalam suatu operasi pembersihan yang dilakukan tentara Belanda pada Desember 1817, Martha bersama 39 pejuang lainnya tertangkap. Mereka pun dibawa menggunakan kapal dan akan dipekerjakan secara paksa di kebun kopi.
Di kapal tersebut, kesehatan Martha kian memburuk. Ia menolak untuk makan dan pengobatan yang diberi oleh Ver Huell, sosok yang bertugas untuk menangani dan memantau kesehatan para tawanan.
Martha yang teguh pendirian itu tak ingin menyentuh apapun yang berkaitan dengan penjajah. Baginya, itu menjadi bentuk perlawanannya pada pihak Belanja meski menjadi tawanan.
Seperti ungkapannya pada perang terakhir bersama sang ayah, ia tak sudi menjadi pekerja yang melayani kemauan penjajah. Martha tetap dengan pendirian ‘lebih baik mati dalam perjuangan daripada menjadi budak Belanda‘.
Hingga pada 1 Januari 1818, tiga hari sebelum Martha genap berusia 18 tahun, ia menghembuskan napas terakhir, Bunda. Ver Huell pun merasa amat bersimpati pada kepulangan Martha kala itu. Ia amat menghormati keberanian serta keteguhan hati gadis tersebut dengan memimpin upacara kematiannya.
Dalam sejarahnya, Martha tercatat gugur pada 2 Januari 1818. Dalam upacara sebelum tubuhnya dihanyutkan ke Laut Belanda, Ver Huell menuliskan beberapa kalimat sebagai penghormatan.
“Saya turunkan jasadnya pada malam hari dengan teduh dalam laut. Tentu dengan hati yang terharu, sedikit banyak dengan air mata,” tulisnya. (haibunda.com)