Jakarta – Ada suatu kisah tentang hikmah kejujuran yang menyadarkan seorang bos perampok yang terkenal kejam dan bengis. Peristiwa ini terjadi tatkala ia merampok Syekh Abdul Qadir Jailani, ulama fikih dan kerap dijuluki seorang sufi.
Kisah ini diceritakan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Muqatil sebagaimana ditulis Isnaeni Fuad dalam buku Dahsyatnya Taubat: 42 Kisah Orang yang Bertobat.
Kala itu Abu Abdillah Muhammad berkumpul dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, lalu ada seseorang yang bertanya kepadanya mengenai dasar pengabdiannya kepada Allah SWT.
Syekh Abdul Qadir Jailani menjawab, “Atas dasar perkataan yang jujur dan aku tidak pernah berbohong.” Lalu ia melanjutkan ceritanya.
“Pada waktu aku masih kecil, kehidupanku di desa terasa tenteram dan damai. Sudah menjadi kebiasaanku setiap hari membantu orang tuaku untuk membajak tanah yang akan ditanami.
Pada suatu hari, aku mengikuti lembu yang aku gunakan untuk membajak sawah ladangku. Aku memandangi lembuku dengan penuh perhatian. Tiba-tiba lembuku berkata kepadaku, ‘Wahai Abdul Qadir, bukan untuk pekerjaan ini kamu diciptakan Allah.’
Setelah mendengar perkataan lembuku, akhirnya aku pulang dengan diliputi rasa takut. Ketika berada di atas rumahku, aku melihat banyak jemaah haji sedang melakukan wukuf di Arafah. Hal tersebut membuat hatiku mendalami ajaran agama Islam.
Aku kemudian menghadap ibuku untuk memohon izin agar diperkenankan menuntut ilmu di kota Baghdad. Di hadapan ibuku aku berkata, ‘Berilah aku perbekalan serta izinkanlah aku merantau ke Baghdad untuk menuntut ilmu. Aku ingin belajar di sana dan mengunjungi rumah orang-orang saleh.’
Ibuku lalu bertanya tentang sebab yang membuat aku ingin pergi ke Baghdad. Akhirnya aku pun bercerita tentang kejadian yang ku alami sewaktu aku di ladang. Sesudah mendengar ceritaku, ibuku langsung pergi untuk mengambil uang sebanyak 80 dinar peninggalan dari harta ayahku.
Aku diberinya 40 dinar, sedangkan yang 40 dinar lagi diberikan kepada saudaraku. Untuk mengamankan uang tersbeut, ibuku membuatkan saku di bawah ketiak bajuku sebagai tempat penyimpanan uang tadi.
Setelah itu, ibuku memberikan izin kepadaku untuk pergi ke Baghdad. Beliau berpesan kepadaku agar berkata benar dalam setiap keadaan. Aku pun keluar dengan mengucapkan salam terakhir.
Ibuku lalu berkata, ‘Pergilah sesudah kamu menitipkan keselamatanmu kepada Allah agar dalam perjalananmu nanti mendapat pemeliharaan-Nya.’ Pesan inilah yang tidak pernah aku lupakan sampai hari kiamat.
Untuk pergi ke Baghdad aku bergabung dengan rombongan kafilah yang selesai melakukan ibadah haji. Ketika rombongan kami melewati suatu tempat bernama Hamdan, kami dihadang oleh rombongan perampok yang mengendarai kuda. Mereka berjumlah 60 orang.
Mereka inilah yang merampas seluruh harta benda yang dibawa rombongan kafilah kami. Tidak ada satu pun di antara para perampok itu yang menanyai aku. Akhirnya, ada salah seorang di antara mereka yang bertanya, ‘Hai orang fakir, apa yang kamu bawa ini?’
Aku menjawab dengan sejujurnya, ‘Aku membawa 40 dinar.’ Dia lalu bertanya, ‘Di mana uang itu kamu sembunyikan?’ Aku lalu menjawab, ‘Uang itu aku letakkan di saku yang terjahit rapat di bawah ketiakku.’
Rupanya dia mengira perkataan jujurku ini menghina dirinya, lantas ia meninggalkanku begitu saja. Kemudian tidak begitu lama, datang lagi kepadaku salah seorang di antara para perampok itu.
Dia lalu bertanya kepadaku sebagaimana pertanyaan temannya yang pertama tadi. Aku pun menjawab seperti jawaban yang pertama. Saat mendengar jawabanku yang dinilainya dusta itu, ia pun pergi tanpa menghiraukanku lagi.
Akhirnya dua perampok yang menanyai aku itu menghadap ke pimpinannya. Mereka lantas menceritakan apa yang aku katakan tadi. Kemudian pimpinan perampok itu berkata kepada kedua bawahannya tadi, ‘Sekarang panggil dia ke sini.’
Aku lalu dibawa ke tempat kepala perampok itu berada. Ternyata mereka sudah membagi uang hasil rampokannya. Kepala perampok itu bertanya kepadaku, ‘Apa yang kamu bawa?’
Aku menjawab, ‘Aku membawa uang 40 dinar.’ Kemudian kepala perampok itu bertanya, ‘Sekarang di mana uang itu kamu simpan?’ Akyu menjawab, ‘Uang itu aku simpan di sakuku yang terjahit rapat di bawah ketiak bajuku ini.’
Akhirnya mereka menemukan uang 40 dinar itu di saku ketiak bajuku. Kepala perampok itu bertanya kepadaku, ‘Apa yang membuatmu berkata jujur?’
Aku menjawab, ‘Ibuku berpesan kepadaku untuk senantiasa berkata jujur. Aku tidak berani berkhianat kepadanya.’
Setelah mendengar jawabanku ini, kepala perampok itu tiba-tiba menangis seraya berkata, ‘Kamu tidak berani berkhianat pada janji ibumu, sedangkan aku sudah beberapa tahun ini telah mengkhianati janji Tuhanku.”
Akhirnya, kepala perampok itu bertobat di pangkuanku dengan penuh penyesalan yang mendalam atas berbagai kejahatan yang ia lakukan selama ini.
Tatkala melihat hal tersebut, teman-temannya lalu berkata kapadanya, ‘Kamu adalah pemimpin kami dalam merampok dan berbuat kejahatan. Sekarang kamu bertobat lebih dahulu. Kalau begitu, kami pun mengikuti jejakmu.’
Akhirnya, para perampok itu bertobat dengan pimpinannya di depanku. Setelah itu, mereka mengembalikan uang dan seluruh harta benda yang mereka rampok kepada rombongan kafilah kami. Semoga tobat mereka diampuni oleh Allah SWT.”
Isnaeni Fuad mengatakan, kisah kejujuran Abdul Qadir Jailani tersebut ternyata dapat mengubah perangai sekaligus menggugah kesadaran seseorang. (detikcom)